Kebijakan konservasi sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan pada saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang sangat berat serta masalah yang kompleks dan saling terkait. Dimasa lalu, Pemerintah menggunakan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) dalam konstitusi maupun UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai alas kebijakan untuk mengabaikan hak-hak masyarakat atas sumber daya alam khususnya tanah. Perdebatan arti kata tanah ‘dikuasai’ atau ‘dimiliki’ oleh Negara digunakan secara sempit oleh pemerintah sehingga memungkinkan pemerintah membuat keputusan mengeksploitasi sumberdaya alam (SDA) dengan mengabaikan hak-hak masyarakat.
Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, setelah diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, karakter kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia sangat masif dan eksploitatif. Karakter ini juga diperparah dengan pola pengelolaan SDA yang sentralistik dengan pendekatan penyeragaman.
Kelemahan lain adalah kebijakan dan peraturan perundang-undangan pengelolaan dan konservasi SDA selama ini masih kentalnya orientasi sektoral. Setiap instansi sektoral atau sektor hanya memikirkan bidang tugas dan kepentingannya tanpa melihat adanya peluang koordinasi, komunikasi atau bahkan kerjasama bagi terwujudnya pengelolaan SDA yang lebih efisien, efektif dan berkelanjutan. Dengan kata lain, masih kuatnya ego sektoral telah menghambat terjalinnya koordinasi dan kerjasama dalam pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Akibat lanjut dari kecenderungan tersebut adalah terkotak-kotaknya wilayah SDA berdasarkan batas-batas administratif dan kepentingan politik dan ekonomi. Obyek yang sama bisa menjadi lahan eksploitasi dan pertarungan kepentingan berbagai sektor. Akhirnya, munculah degradasi lingkungan hidup dan penegasian konservasi sumber daya alam hayati secara signifikan.
Hingga saat ini pengelolaan kawasan hutan di Indonesia mengacu pada perundang-undangan di bidang kehutanan yaitu UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di dalam perundang-undangan tersebut kawasan hutan terbagi ke dalam beberapa status yaitu: hutan negara dan hutan hak. Hutan secara fungsi juga terbagi ke dalam fungsi lindung, fungsi produksi dan fungsi konservasi.
Kawasan konservasi di Indonesia terbagi kedalam Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan ini dibawah kewenangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Di tingkat lokasi kawasan, Balai Taman Nasional menjadi lembaga yang bertugas mengurus Taman Nasional. Untuk mengamankan kawasan konservasi seperti Taman Nasional dilakukan oleh Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan.
Disisi pemerintahan daerah pada tahun 2004 urusan pemerintahan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah kembali mengalami perubahan seiring dengan direvisinya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. Beberapa hal tentang konservasi yang sebelumnya termasuk kedalam kategori kewenangan bidang lain yang menjadi kewenangan pemerintah pusat/ nasional, dalam perubahan undang-undang otonomi daerah ini tidak secara spesifik disebutkan.
Dalam undang-undang otonomi daerah yang baru masih menyebutkan secara jelas urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama. Dalam ketentuan berikutnya di pasal yang sama pemerintah pusat masih memiliki kompetensi untuk melakukan pengurusan selain urusan yang sudah disebutkan secara tertulis dalam undang-undang otonomi daerah, sepanjang urusan tersebut diatur dalam undang-undang. Untuk menjalankan kewenangan tersebut pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri, atau melimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas perbantuan. Inistiatif tingkat daerah yang saat ini sedangberjalan diantaranya deklarasi ’Kabupaten Konservasi’ oleh Kabupaten yang wilayah administrasi pemerintahannya bersinggungan atau overlapping dengan kawasan konservasi. Dan program Heart of Borneo (HOB) yang mendorong pengelolaan kawasan lindung (konservasi) yang melibatkan tiga negara (Indonesia, Malaysia dan Brunei).
Di sektor perikanan, dalam UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan dijelaskan bahwa konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Konservasi ekosistem sebagai bagian dari konservasi sumberdaya ikan merupakan upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan akan datang. Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau Marine Protected Area (MPA) adalah wilayah perairan yang termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta/atau termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial-budaya di bawahnya, yang melindungi secara hukum atau cara lain yang efektif baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut. Sementara itu dalam hal pengelolaan pesisir dan laut serta perikanan lahirnya UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP&PK) yang sedikit banyak bersinggungan dengan pengaturan pengeloaan kawasan konservasi laut.
Ada tiga hal besar yang tumpang tindih dalam pengaturan wilayah pesisir sebagai akibat diberlakukannya UU 27/2007 tentang PWP&PK:
- Pertama, tumpang tindih pengaturan kawasan laut dan pesisir antara dua departemen yang berpotensi menimbulkan konflik peraturan dan ketidakpastian hukum.
- Kedua, konflik kewenangan antara departemen kehutanan dengan departemen kelautan dan perikanan.
- Ketiga, konflik dalam pengaturan mengenai hak masyarakat masyarakat.
Tambang dan konservasi merupakan dua hal yang dianggap bertentangan tetapi tidak bisa dipisahkan pada realita dan kebijakannya. Kebijakan tambang selalu berupaya mengintervensi pengaturan kawasan konservasi, bahkan ketika undang-undang pertambangan direvisi dan kemudian disahkan pada 18 Desember 2008. Perdebatan kurang lebih 3,5 tahun antara Pemerintah dan DPR yang menimbulkan kontroversi pada akhirnya disahkan pada akhir tahun 2008. Pada akhirnya Indonesia memasuki babak baru dalam mengeksploitasi mineral di kawasan hutan dan non hutan termasuk di sebagian kawasan konservasi.
Dalam UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini ditegaskan bahwa Wilayah Pertambangan merupakan bagian dari tata ruang nasional dan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Jenis-jenis perizinanan yang diberikan adalah:
- Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha
- Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
- Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
IUP diberikan oleh Bupati/Walikota, Gubernur dan Pemerintah Pusat (Menteri) tergantung kewenangan, wilayah pertambangan dan infrastruktur. Selain IUP, beberapa area khusus juga dapat dieksploitasi dengan menggunakan format Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUPK akan diberikan langsung oleh Pemerintah Pusat tanpa melihat wilayah kewenangan pemerintahan. IUPK diberikan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WUPK). Hal ini merupakan ancaman bagi kawasan konservasi dan upaya pengelolaannya, selain mengkhawatirkan dalam upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Kebijakan-kebijakan ini seringkali bertentangan sehingga menimbulkan disharmoni perundangan. Beberapa sebab dalam kaitannya dengan disharmoni kebijakan konservasi di Indonesia antara lain adalah:
- Kuatnya ego sektoral telah menghambat terjalinnya koordinasi dan kerjasama dalam pengelolaan SDA secara berkelanjutan;
- Terjadinya tarik menarik kewenangan pengelolaan SDA;
- Adanya kepentingan yang melekat pada berbagai pihak;
- Tidak ada visi yang sama di Pemerintah Pusat dalam konservasi sumber daya alam;
- Kuatnya agenda jangka pendek pemerintah atau instasi-instasi tertentu melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan; dan
- Buruknya kordinasi dan komunikasi antara instansi pemerintah dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undang.
Terjadinya disharmoni kebijakan konservasi ini juga bisa terjadi karena jumlah peraturan dan kebijakan konservasi yang makin besar dan banyak. Hal ini menyebabkan terbatasnya instasi penyusun, parlemen serta para pihak pengambil keputusan lainnya untuk mengetahui dan menjadikan dasar pijakan bagi penyusunan kebijakan dan peraturan konservasi SDA atau mengenal semua peraturan tersebut. Disharmoni juga sering terjadi karena adanya pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaannya. Seringkali peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah tidak sejalan. Kebijakan-kebijakan antar instansi Pemerintah sering kali saling bertentangan.
Secara kelembagaan masih terlihat lemahnya kerjasama dan koordinasi lintas sektoral, lintas daerah dan lintas aktor yang menyebabkan timbulnya konflik berkepanjangandalam hal penataan pengelolaan dan konservasi SDA. Salah satu permasalahan tersebut adalah keterbatasan kapasitas pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi, sehingga pada saat ini banyak kawasan konservasi di Indonesia menjadi sumberdaya alam yang terbuka (open access). Kondisi tersebut seringkali dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab (free-rider) untuk mengambil manfaat ekonomi jangka pendek yang menimbulkan dampak negatif terhadap keutuhan ekosistem kawasan konservasi.
Hal ini sangat terkait sekali dengan pengurusan dan pengelolaan kawasan konservasi selama ini yang sering dinilai masih kurang partisipatif, transparan, bertanggung jawab dan bertanggung-gugat. Konsekuensi dari pola pengelolaan tersebut adalah kurang terakomodasinya aspirasi masyarakat serta stakeholder lainnya, sehingga muncul keengganan masyarakat dan para pihak/pemangku kepentingan (stakeholder) untuk ikut berbagi tanggung-jawab (sharing of responsibility) dalam menjaga kelestarian kawasan konservasi.
Kerusakan yang terjadi di kawasan konservasi telah menurunkan secara signifikan fungsi jasa ekologi dan ekonomi dari kawasan konservasi, guna mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang di daerah dimana kawasan konservasi tersebut berada. Kondisi kerusakan ini sudah mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan dan harus dilakukan perubahan paradigma pola pengelolaan kawasan konservasi.
Selain ancaman terhadap kawasan, ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati Indonesia adalah illegal logging, perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi, illegal fishing, serta kejahatan konservasi lainnya. Akibat kejahatan tersebut kita banyak kehilangan keanekaragaman hayati dan telah mengganggu proses penyaluran jasa ekologis bagi pembangunan ekonomi. Pendekatan kebijakan yang hanya berusaha menjaga kawasan konservasi tanpa membangun kebijakan perlindungan satwa dapat menyebabkan terjadinya “empty forest syndrome”. Kekosongan kebijakan hingga tahun 1990 menyebabkan percepatan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati di Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar