Enam Syarat Kota Modern

Posted by Unknown on 08.49

Enam syarat kota modern adalah:

(1) Bebas Banjir

(2) Ketersediaan air bersih untuk rumah tangga dan industri

(3) Sarana angkutan sampah padat dan cair yang andal.

(4) Ketersediaan angkutan kota dan antar kota yang nyaman.

(5) Ketersediaan tenaga listerik

(6) Ketersediaan sarana komunikasi.

Tetapi sekarang syarat ini ditambah dengan dua syarat lagi, yaitu

(7) Pembatasan polusi berasal gas dari pembakaran hidrokarbon.

(8) Pembatasan kandungan padatan renik berukuran 10 mikron.


Boro-boro delapan syarat, ke-enam syarat saja tidak satupun dipenuhi oleh kota-kota besar di Indonesia. Ke-enam syarat ini digunakan untuk memberi angka (bench marking) kenyamanan kota. Jakarta sebagai ibukota RI mempunyai nilai kenyaman jauh di bawah standard internasional. Kenyataan ini sungguh memalukan. Ketika kota-kota modern lain di dunia menuju konsep eco-city, mutu ecosystem kota Jakarta malah semakin melorot dari sehari-ke-sehari. Menanggulangi banjir di dataran banjir dengan cetak biru rekayasa pengendalian banjir versi Departemen KimPrasWil dengan biaya 12 trilyun rupiah, sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah banjir. Penanggulangan ini berbasis pada konsep anthropocentrism yang jauh dari konsep post-modernism yang berbasis pada ecocentrism dalam bidang rekayasa dan lingkungan.


Anthropocentrism berpedoman pada dalil kepongahan manusia, bahwa alam (termasuk banjir) dapat dikendalikan dengan berbagai perangkat keras dan teknik pengendalian yang piawai. Teknologi ini pengendalian banjir yang diperkenalkan di berbagai universitas sudah berumur 100 tahun, dan di Negara-negara berkembang masih dijadikan acuan. Lagi-lagi kita kecolongan konsep berfikir kreatif dan innovatuf. Banjir mempunyai logikanya sendiri dan aturan yang ditetapkan manusia, khususnya yang diselesaikan dengan cetak biru rekayasa versi Departemen KimPrasWil tidak akan berhasil, kecuali dengan biaya pemeliharaannnya akan super mahal berupa pemeliharaan alur agar selalu siap menampung beban banjir. Jadi, 12 trilyun rupiah akan hilang percuma!


Apakah ada alternatif rekayasa lain untuk mitigasi banjir di dataran banjir?


Ada tetapi ruangan ini terlalu sempit dan lagi terlalu teknis. Tetapi pesan yang penting adalah, bahwa industri konstruksi rekayasa infrastruktur yang sekarang dijadikan rujukan, khususnya dalam rekayasa pengendalian banjir, pengelolaan sumber daya air, jaringan jalan raya sangat boros dan bersiko dan karena itu rancangan proyek-proyek publik merupakan sumber pemborosan dan pendekatan rekayasa dan ekonominya perlu dicermati dengan baik dan professional untuk melindungi uang publik.


Sarana ke-dua, ke-tiga dan ke-empat, juga tak pernah dapat dilaksanakan dengan baik; selalu reaktif dan tertinggal oleh permintaan, suatu cacat dari segi manajemen kota yang modern. Di ketiga butir itu juga banyak sekali terjadi kejanggalan yang hanya dapat diselesaikan dengan good-governance dengan teknologi dan rekayasa yang kreatif, innovatif dan –ini sangat penting—dapat dipertanggung-jawabkan (accountable) secara rekayasa dan ekonomi. Jangan lupa, uang rakyatlah yang digunakan untuk membangun infrastruktur fisik.


Ketika di Eropa dan Amerika telah terjadi keseimbangan populasi antara kota dan Desa, di Negara kita terjadi urbanisai besar-besaran ke kota-kota besar. Urbanisasi adalah gejala (symptom) bukan akar masalah yang sebenarnya. Menghilangkan simpton adalah pekerjaan sia-sia; orang arif akan selalu mencari dan menyelesaikan akar masalah; orang dungu berpuas diri dengan penyelesaian simptomatik. Tidak memerlukan pakar sosiologi untuk mengerti mengapa terjadi urbanisasi ke kota. Kemiskinan dan peluang kerja yang berbasis pertanian semakin sempit. Pertumbuhan populasi yang cepat (2% ?) dan tanah yang sudah sempit tidak lagi dapat menunjang untuk menghidupi keluarga. Terjadilah penjualan tanah-tanah petani gurem kepada orang-orang kota, dan dengan itu terjadilah proses pemiskinan di pedesaan, dan akhirnya urbanisasi dan pemilik tanah tinggal menunggu perkembangan yang akan menaikan harga tanah. Uang menjadi terperangkap dalam sindrom memperoleh keuntungan lebih (gain) tanpa berproduksi.


Tentu saja, urbanisasi tidak melulu oleh perpindahan orang Desa ke Kota, tetapi sekarang ini juga muncul gejala urbanisasi dari luar-luar daerah, mereka membentuk koloni-koloni seperti PKL dan timbulah kekumuhan kota. Tetapi ini masalah yang lain lagi, dan yang menjadi focus sekarang adalah bagaimana mensejahterakan Desa dan membangun Eko-Desa. Lagi-lagi penyelesaiannya adalah kembali ke sumber daya alam primer yaitu lahan air dan lingkungan biotic, tetapi dalam cakupan yang modern, di mana desa terlibat dalam jaringan proses produksi. Tetapi kearifan inipun membutuhkan kemauan politik penguasa, lagi-lagi karena alasan sociologis yang membentuk pola paternalistik yang diperkuat oleh sistim penguasa itu sendiri.


Sugandar Sumawiganda, Ir., M.Sc., Ph.D.

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Instagram
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Search Site