Kelompok Relawan
Garda Caah
Dengan keterbatasan sarana BERTEKAD untuk selalu Terdepan Saat Banjir Menerjang
Dengan keterbatasan sarana BERTEKAD untuk selalu Terdepan Saat Banjir Menerjang

BANJIR yang selalu terjadi setiap musim hujan di kawasan hulu Sungai Citarum telah memunculkan rasa kepedulian dan kemanusiaan, sekaligus rasa percaya diri sekelompok pemuda Majalaya.
Tepat pada 20 September 2008 di sebuah rumah seorang pemuda setempat, sebelas elemen kepemudaaan, terdiri dari F Satu Majalaya, GM Majalaya, FKPA Korwil IV Kabupaten Bandung, GMB, KPL Majalaya, BSI, KNPI Majalaya, Rapi Lokal 04, KPPBM, Palm, dan Palka, sepakat membentuk sebuah tim search and rescue (SAR) lokal. Mereka menamakannya Garda Caah. Garda artinya barisan penjaga, sedangkan Caah adalah kata dalam Bahasa Sunda yang berarti banjir.

"Pembentukan organisasi relawan ini dilatarbelakangi rasa miris terhadap persoalan banjir langganan yang kerap merugikan masyarakat Majalaya. Air yang tergenang memiliki kekuatan arus yang tinggi, dan biasanya selang lima hingga delapan jam langsung surut, sedangkan untuk menolong korban harus dilakukan secepat mungkin," ujar seorang deklarator Garda Caah, Awen (29), Kamis (18/3).
Didorong rasa kekeluargaan serta langkah kemanusiaan yang memerlukan kecepatan tindakan itulah, Garda Caah terbentuk dan kini menjadi barisan terdepan dalam setiap penanggulangan bencana banjir di sekitar kawasan tersebut.
"Masa iya, kalau penanggulangan korban banjir harus menunggu Tim SAR dari pemerintah ataupun kepolisian saja. Padahal jarak tempuh ke wilayah banjir itu memerlukan waktu yang relatif lama. Nah hal itulah yang menimbulkan semangat kami untuk membentuk elemen Tim SAR swadaya," tambah Awen.

Kumpulan sekitar 40 orang relawan pemuda lokal, baik lelaki maupun perepuan, dengan latar belakang profesi dan pendidikan yang berbeda, kini menjadi sebuah kelompok yang konsern dengan masalah penanganan kemanusiaan, terutama yang terkait dengan bencana.
Awen yang juga menjabat sebagai Wadan Diklat Garda Caah, menyatakan, secara organisasi pihaknya nyaris tak pernah bersentuhan dengan bantuan keuangan, baik dana bantuan kemanusiaan untuk korban, maupun dana untuk kesinambungan organisasi.

"Garda Caah hanya bersentuhan langsung dengan logistik berupa bantuan dari donatur swasta ataupun dari pemerintah. Itu pun tidak berkesinambungan," katanya.
Karena itulah, hingga kini Garda Caah belum memiliki posko permanen. Adapun sebuah posko yang pernah menjadi saksi berdirinya kelompok relawan itu kini telah berubah menjadi sebuah bangunan rumah makan.
"Kami belum memiliki dana untuk menyewa posko, kalau ada tentu ingin membuatnya. Posko yang terdahulu dan pernah menjadi saksi deklarasi Garda Caah kini disewakan kepada seorang pemilik rumah makan," ujar Awen.

Walau begitu, Garda Caah sudah mampu memiliki sarana yang lumayan, antara lain dua unit perahu bantuan dari sebuah instansi swasta. Perahu karet itu berjenis LCR (Landing Craft Rubber) yang setiap saat bisa dipakai untuk menolong masyarakat korban banjir.

Mengenai pelatihan yang ditempuh, secara organisasi Garda Caah belum pernah melakukan kerja sama pelatihan rutin ataupun terencana dengan pihak luar. Mayoritas anggota Garda Caah, berasal dari kalangan elemen pencinta alam.
"Secara resmi kami belum pernah menggelar pelatihan dengan pihak luar. Hanya saja pernah sekitar Juli 2008 ketika menghadapi bencana banjir, pihak kami berkesempatan berjumpa bersama dua orang prajurit TNI-AD dari Tim SAR Kopassus. Sekitar sebulan mereka membagi keahlian dan pengalaman dalam menaklukkan medan bencana, ya alhamdulillah pelatihan mereka membuka wawasan dan pengetahuan bagi kami," ujarnya.

Kini Tim SAR Garda Caah tak hanya berjibaku menanggulangi banjir saja. Lebih dari itu, mereka pun telah menguji dan mengasah kemampuaannya bergulat dengan penanganan korban longsor serta gempa bumi. Tak heran, saat gempa bumi mengguncang Tasikmalaya, Garut, Pangalengan Kabupaten Bandung, Padang Sumatra Barat, longsor di Perkebunan Dewata, Tenjolaya, personel Garda Caah terjun di sana. terakhir meraka terlibat dalam pencarian 2 orang korban tenggelam warga desa Rancakasumba kecamatan Solokan jaeruk
(sumber: admin Garda Caah, HU tribun jabar)
Tepat pada 20 September 2008 di sebuah rumah seorang pemuda setempat, sebelas elemen kepemudaaan, terdiri dari F Satu Majalaya, GM Majalaya, FKPA Korwil IV Kabupaten Bandung, GMB, KPL Majalaya, BSI, KNPI Majalaya, Rapi Lokal 04, KPPBM, Palm, dan Palka, sepakat membentuk sebuah tim search and rescue (SAR) lokal. Mereka menamakannya Garda Caah. Garda artinya barisan penjaga, sedangkan Caah adalah kata dalam Bahasa Sunda yang berarti banjir.

"Pembentukan organisasi relawan ini dilatarbelakangi rasa miris terhadap persoalan banjir langganan yang kerap merugikan masyarakat Majalaya. Air yang tergenang memiliki kekuatan arus yang tinggi, dan biasanya selang lima hingga delapan jam langsung surut, sedangkan untuk menolong korban harus dilakukan secepat mungkin," ujar seorang deklarator Garda Caah, Awen (29), Kamis (18/3).
Didorong rasa kekeluargaan serta langkah kemanusiaan yang memerlukan kecepatan tindakan itulah, Garda Caah terbentuk dan kini menjadi barisan terdepan dalam setiap penanggulangan bencana banjir di sekitar kawasan tersebut.
"Masa iya, kalau penanggulangan korban banjir harus menunggu Tim SAR dari pemerintah ataupun kepolisian saja. Padahal jarak tempuh ke wilayah banjir itu memerlukan waktu yang relatif lama. Nah hal itulah yang menimbulkan semangat kami untuk membentuk elemen Tim SAR swadaya," tambah Awen.

Kumpulan sekitar 40 orang relawan pemuda lokal, baik lelaki maupun perepuan, dengan latar belakang profesi dan pendidikan yang berbeda, kini menjadi sebuah kelompok yang konsern dengan masalah penanganan kemanusiaan, terutama yang terkait dengan bencana.
Awen yang juga menjabat sebagai Wadan Diklat Garda Caah, menyatakan, secara organisasi pihaknya nyaris tak pernah bersentuhan dengan bantuan keuangan, baik dana bantuan kemanusiaan untuk korban, maupun dana untuk kesinambungan organisasi.

"Garda Caah hanya bersentuhan langsung dengan logistik berupa bantuan dari donatur swasta ataupun dari pemerintah. Itu pun tidak berkesinambungan," katanya.
Karena itulah, hingga kini Garda Caah belum memiliki posko permanen. Adapun sebuah posko yang pernah menjadi saksi berdirinya kelompok relawan itu kini telah berubah menjadi sebuah bangunan rumah makan.
"Kami belum memiliki dana untuk menyewa posko, kalau ada tentu ingin membuatnya. Posko yang terdahulu dan pernah menjadi saksi deklarasi Garda Caah kini disewakan kepada seorang pemilik rumah makan," ujar Awen.

Walau begitu, Garda Caah sudah mampu memiliki sarana yang lumayan, antara lain dua unit perahu bantuan dari sebuah instansi swasta. Perahu karet itu berjenis LCR (Landing Craft Rubber) yang setiap saat bisa dipakai untuk menolong masyarakat korban banjir.

Mengenai pelatihan yang ditempuh, secara organisasi Garda Caah belum pernah melakukan kerja sama pelatihan rutin ataupun terencana dengan pihak luar. Mayoritas anggota Garda Caah, berasal dari kalangan elemen pencinta alam.
"Secara resmi kami belum pernah menggelar pelatihan dengan pihak luar. Hanya saja pernah sekitar Juli 2008 ketika menghadapi bencana banjir, pihak kami berkesempatan berjumpa bersama dua orang prajurit TNI-AD dari Tim SAR Kopassus. Sekitar sebulan mereka membagi keahlian dan pengalaman dalam menaklukkan medan bencana, ya alhamdulillah pelatihan mereka membuka wawasan dan pengetahuan bagi kami," ujarnya.

Kini Tim SAR Garda Caah tak hanya berjibaku menanggulangi banjir saja. Lebih dari itu, mereka pun telah menguji dan mengasah kemampuaannya bergulat dengan penanganan korban longsor serta gempa bumi. Tak heran, saat gempa bumi mengguncang Tasikmalaya, Garut, Pangalengan Kabupaten Bandung, Padang Sumatra Barat, longsor di Perkebunan Dewata, Tenjolaya, personel Garda Caah terjun di sana. terakhir meraka terlibat dalam pencarian 2 orang korban tenggelam warga desa Rancakasumba kecamatan Solokan jaeruk
(sumber: admin Garda Caah, HU tribun jabar)
0 komentar:
Posting Komentar