Beberapa seniman dan satrawan berbicara tentang cinta. Definisi mereka kadang rumit dengan gaya bahasa masing-masing. Van Gouh memandang cinta dengan bahasa "sinar dan keteduhan". Lalu seorang pelukis Belanda menegaskan bahwa jalan utama mengetahui kehidupan adalah dengan mencintai banyak nal. Dalam pernyataan yang diberi judul pelita penerang, ia mengatakan bahwa cinta adalah sesuatu yang langgeng. Emosi kadang berubah yang menyebabkan berubahnya sudut pandang, tetapi esensinya tetap pada kondisi semula.
selalu ada perbedaan pada seseorang, ketika sebelum mencintai dan sesudah mencintai. Perbedaan tersebut bagai sebuah lampu yang belum menyala dan lampu yang telah kita nyalakan. Lampu tetap ada ditempatnya sebelum kita nyalakan. Akan tetapi, sekarang ia menerangi dan menyinari tempat tersebut. Inilah tugas manusia.

Sedangkan seorang penulis perancis. Anthin de Saint Expre memandang cinta dari sisi pemikiran, atau sisi kebersamaan dalam satu sasaran. Ia mengatakan bahwa cinta itu bukanlah dua orang yang saling melihat. Tapi cinta adalah jika kedua-duanya melihat kepada satu arah.
Sementara itu Lao Tse -seorang filosop cina- memandang cinta dari sisi kelembutan saja. Katanya, "Kelembuatan kata dapat membangkitkan kepercayaan diri dan kelembutan pemikiran menciptakan kedalaman, sedangkan kelembutan emosi melahirkan cinta."

Sedangkan seorang pemikir Arab sendiri, "Abas Al-Aqqad melihat cinta dari sisi humanismenya. Ia cukup pandai mengeluarkan pendapatnya sebagaimana tersebut dalam satu-satunya riwayat beliau ; wanita yang membahagiakan. Ia mengatakan "Jika seorang laki-laki membedakan seorang wanita dari wanita lain, itulah cinta. Dan jika seorang wanita tidak mempengaruhi seorang laki-laki seperti seorang wanita mempengaruhinya, itulah cinta. Jika seorang laki-laki membedakan wanita bukan karena ia paling cantik, paling cerdas, paling tepat, dan bukan karena ia lebih utama untuk dicintai, tapi karena keindahan dan kekurangannya, itulah cinta.
Pendapat aqqad tersebut didasarkan atas jenis pecinta yang dikuasai hatinya, bukan akalnya. Pecinta jenis ini tidak tergantung pada kecantikan, kecerdasan ketepatan dan prioritas, tetapi tergantung kepada siwanita itu sendiri, baik kelebihan maupun kekurangannya, kebodohan maupun kenakalanya, atau kekerasan maupun kebuasanya.
Seorang pecinta memandang lebih dari itu semua. Ia memandang bahwa kebodohan kekasih seperti kebijaksanaan yang mengenakan topeng kebodohan. Selain itu, kebuasanya merupakan standar baru dalam menentukan kecantikan. Begitu pula kekerasan-kepalanya adalah kasih sayang yang tertutupi dengan kekerasan. Mungkin disinilah letak rahasia penisbatan kata "buta" pada seorang pecinta.

Kata mereka, cinta itu buta. Artinya bahwa si pecinta tidak melihat kepada realita. Tapi terus berlalu menciptakan gambar baru seorang kekasih dalam dirinya. Sebuah gambar yang dilukis oleh hatinya, bukan akalnya. Dan sebuah gambar yang dipantasikan perasaannya, bukan inderanya. Pada waktu yang sama, imajinasi itu menjadi sebuah realita. Kemudian realita berubah menjadi keraguan dan angan belaka.
Letusan nuklir baru dari dalam diri sang pecinta mengakibatkan hilangnya dunia yang telah berdiri dan lahirlah dunia baru. Dan yang dimaksud dengan "dunia baru" ini, kata Aqqad, adalah masuknya "wanita yang membahagiakan" dalam dirinya. Ia berkata, " Pintu rumah telah terbuka dan dunia terbagi menjadi dua bagian, tidak ada yang ketiga. Sebagai di dalamnya terdapat segala sesuatu, atau bagian pertama yang terwujud dan bagian kedua yang tak terwujud. Rumah yang mencakupnya adalah bagian yang banyak, melimpah, penuh dan meluap. Sedangkan dunia adalah bagian terbuang yang sempit daratannya maupun alutannya, tidak lebih luas da letaknya di peta-peta anak kecil."
Aqqad adalah seorang pecinta mania yang seperti kuda jantan. Ia berharap mendapat semuanya atau tidak sama sekali. Baginya, tidak ada sesuatu kecuali batas maksimum; tidak ada kira-kira dan sedang-sedang dalam hal ini.

Ia menulis, bahwa seorang laki-laki yang meluangkan satu jam bagi seorang wanita, maka ia menganggap cukup baginya dengan satu jam dalam satu harinya. Akan tetapi cukupkah baginya satu jam tersebut padahal ia (seharusnya) meluangkan seluruh jam dan hari-harinya untuk wanita tadi; dan memintal benang disisinya, dan menutupi cahaya masa depan yang terpisah dengan kedua tangannya seolah-olah laki-laki tadi puas puas dengan cinta dunia tanpa ada perpisahan? Seorang anak tidak akan menjadi anak atau setengah anak, demikian juga suatu pemberian yang berharga tidak akan menjadi benar atau separo palsu. Maka tidak ada kira-kira dan setengah-setengah dalam hal ini.
Demikianlah opini empat orang dari barat dan timur tengah tentang cinta. Masing-masing memiliki ekspresi bahasa tersendiri. Dan tidaklah anda melihat, wahai Nona, bahwa ekspresi timur tengah itulah yang paling benar.
selalu ada perbedaan pada seseorang, ketika sebelum mencintai dan sesudah mencintai. Perbedaan tersebut bagai sebuah lampu yang belum menyala dan lampu yang telah kita nyalakan. Lampu tetap ada ditempatnya sebelum kita nyalakan. Akan tetapi, sekarang ia menerangi dan menyinari tempat tersebut. Inilah tugas manusia.

Sedangkan seorang penulis perancis. Anthin de Saint Expre memandang cinta dari sisi pemikiran, atau sisi kebersamaan dalam satu sasaran. Ia mengatakan bahwa cinta itu bukanlah dua orang yang saling melihat. Tapi cinta adalah jika kedua-duanya melihat kepada satu arah.
Sementara itu Lao Tse -seorang filosop cina- memandang cinta dari sisi kelembutan saja. Katanya, "Kelembuatan kata dapat membangkitkan kepercayaan diri dan kelembutan pemikiran menciptakan kedalaman, sedangkan kelembutan emosi melahirkan cinta."

Sedangkan seorang pemikir Arab sendiri, "Abas Al-Aqqad melihat cinta dari sisi humanismenya. Ia cukup pandai mengeluarkan pendapatnya sebagaimana tersebut dalam satu-satunya riwayat beliau ; wanita yang membahagiakan. Ia mengatakan "Jika seorang laki-laki membedakan seorang wanita dari wanita lain, itulah cinta. Dan jika seorang wanita tidak mempengaruhi seorang laki-laki seperti seorang wanita mempengaruhinya, itulah cinta. Jika seorang laki-laki membedakan wanita bukan karena ia paling cantik, paling cerdas, paling tepat, dan bukan karena ia lebih utama untuk dicintai, tapi karena keindahan dan kekurangannya, itulah cinta.
Pendapat aqqad tersebut didasarkan atas jenis pecinta yang dikuasai hatinya, bukan akalnya. Pecinta jenis ini tidak tergantung pada kecantikan, kecerdasan ketepatan dan prioritas, tetapi tergantung kepada siwanita itu sendiri, baik kelebihan maupun kekurangannya, kebodohan maupun kenakalanya, atau kekerasan maupun kebuasanya.
Seorang pecinta memandang lebih dari itu semua. Ia memandang bahwa kebodohan kekasih seperti kebijaksanaan yang mengenakan topeng kebodohan. Selain itu, kebuasanya merupakan standar baru dalam menentukan kecantikan. Begitu pula kekerasan-kepalanya adalah kasih sayang yang tertutupi dengan kekerasan. Mungkin disinilah letak rahasia penisbatan kata "buta" pada seorang pecinta.

Kata mereka, cinta itu buta. Artinya bahwa si pecinta tidak melihat kepada realita. Tapi terus berlalu menciptakan gambar baru seorang kekasih dalam dirinya. Sebuah gambar yang dilukis oleh hatinya, bukan akalnya. Dan sebuah gambar yang dipantasikan perasaannya, bukan inderanya. Pada waktu yang sama, imajinasi itu menjadi sebuah realita. Kemudian realita berubah menjadi keraguan dan angan belaka.
Letusan nuklir baru dari dalam diri sang pecinta mengakibatkan hilangnya dunia yang telah berdiri dan lahirlah dunia baru. Dan yang dimaksud dengan "dunia baru" ini, kata Aqqad, adalah masuknya "wanita yang membahagiakan" dalam dirinya. Ia berkata, " Pintu rumah telah terbuka dan dunia terbagi menjadi dua bagian, tidak ada yang ketiga. Sebagai di dalamnya terdapat segala sesuatu, atau bagian pertama yang terwujud dan bagian kedua yang tak terwujud. Rumah yang mencakupnya adalah bagian yang banyak, melimpah, penuh dan meluap. Sedangkan dunia adalah bagian terbuang yang sempit daratannya maupun alutannya, tidak lebih luas da letaknya di peta-peta anak kecil."
Aqqad adalah seorang pecinta mania yang seperti kuda jantan. Ia berharap mendapat semuanya atau tidak sama sekali. Baginya, tidak ada sesuatu kecuali batas maksimum; tidak ada kira-kira dan sedang-sedang dalam hal ini.

Ia menulis, bahwa seorang laki-laki yang meluangkan satu jam bagi seorang wanita, maka ia menganggap cukup baginya dengan satu jam dalam satu harinya. Akan tetapi cukupkah baginya satu jam tersebut padahal ia (seharusnya) meluangkan seluruh jam dan hari-harinya untuk wanita tadi; dan memintal benang disisinya, dan menutupi cahaya masa depan yang terpisah dengan kedua tangannya seolah-olah laki-laki tadi puas puas dengan cinta dunia tanpa ada perpisahan? Seorang anak tidak akan menjadi anak atau setengah anak, demikian juga suatu pemberian yang berharga tidak akan menjadi benar atau separo palsu. Maka tidak ada kira-kira dan setengah-setengah dalam hal ini.
Demikianlah opini empat orang dari barat dan timur tengah tentang cinta. Masing-masing memiliki ekspresi bahasa tersendiri. Dan tidaklah anda melihat, wahai Nona, bahwa ekspresi timur tengah itulah yang paling benar.







0 komentar:
Posting Komentar